Rabu, 24 Oktober 2012

MATERI TAMBAHAN UNTUK KERAJAAN MAJAPAHIT




L    Kerajaan Majapahit


          Kerajaan Majapahit dapat dikatakan sebagai kelanjutan Kerajaan Singasari. Alasannya, Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit merupakan salah seorang pangeran dari Kerajaan Singasari yang berhasil meloloskan diri ketika Jayakatwang dari Kediri menghancurkan Singasari. Raden Wijaya melarikan diri ke Sumenep (Madura) untuk meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Setelah berada di Madura, Raden Wijaya mulai menyusun taktik dan strategi untuk merebut kembali takhta Kerajaan Singasari.
Atas nasihat Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerah dan berpura-pura bersedia menghambakan diri kepada Jayakatwang agar dapat mengatur siasat menggulingkannya. Atas jaminan Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima mengabdi di Kediri oleh Jayakatwang. Raden Wijaya sangat rajin bekerja dan taat kepada raja sehingga memperoleh kepercayaan penuh. Setelah memperoleh kepercayaan raja, Raden Wijaya dianjurkan oleh Arya Wiraraja agar memohon kepada raja untuk dapat menempati daerah ”liar” di utara Pegunungan Arjuna guna membuka permukiman baru di sana. Permohonan itu pun dikabulkan oleh Jayakatwang. Daerah ”liar” yang disebut hutan Tarik segera dibuka dengan bantuan para prajurit dari Madura.
Dalam waktu singkat, hutan Tarik cepat berkembang. Penduduk dari daerah sekitar hutan Tarik mulai berdatangan. Raden Wijaya segera menghimpun penduduk, terutama kaum muda. Mereka dilatih menjadi prajurit yang gagah berani dan persenjataannya pun dilengkapi. Makin hari makin mantap persiapannya. Hutan Tarik kemudian terkenal dengan nama Majapahit. Di Madura, Arya Wiraraja pun sudah bersiap-siap dengan prajuritnya untuk membantu Majapahit menyerang Kediri.
Bertepatan dengan selesainya persiapan untuk melawan Raja Jayakatwang, tentara Mo­ngol yang dikirim oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Kertanegara telah tiba di Jawa. Mereka dipimpin oleh Shihpi, Ka-Hsing, dan Iheh-mi-shih. Tentara Mongol sebagian mendarat di Tuban dan lainnya mendarat di Sedayu (Sugalu), Gresik. Tentara Mongol setelah mendarat segera berkuda bergerak cepat menuju Kediri.
Ketika bertemu perutusan tentara Mo­ngol, Raden Wijaya berpura-pura bersedia mengakui kekuasaan Kubhilai Khan dan membantu menghukum Raja Jawa di Kediri. Sebagian prajurit Majapahit bergabung dengan tentara Mongol dan bergerak ke arah Kediri.
Jayakatwang tidak kuasa membendung serbuan tentara gabungan Mongol–Majapahit yang datang secara mendadak. Akibatnya, hancurlah pertahanan Kediri. Raja Jaya­katwang tertangkap dan dibawa ke benteng pertahanan tentara Mongol di Ujung Galuh. Di sana Jayakatwang dibunuh oleh tentara Mongol. Dengan taktik dan strategi yang jitu, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja berbalik menyerbu tentara Mongol dari berbagai jurusan. Tentara Mo­ngol tidak menyangka adanya serangan balik sehingga tidak dapat bertahan. Akibatnya, lebih dari 3.000 tentara Mongol dapat dibinasakan, sedangkan sisanya lari tunggang-langgang menuju ke kapal untuk pulang ke negerinya.

a.    Aspek Kehidupan Politik

Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada masa pemerintahan raja-raja berikut ini.
1)    Raden Wijaya (1293–1309)
Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tahun 1293 dengan gelar Kertarajasa. Para sahabatnya yang ikut berjuang tidak disia-siakan. Mereka diangkat menjadi pejabat negara. Arya Wiraraja yang paling berjasa diberi kedudukan tinggi dan berkuasa di daerah Lumajang hingga Blambangan. Nambi diberi kedudukan sebagai rakryan mahapatih, Sora sebagai patih di Daha, dan Rangga Lawe sebagai amanca nagara di Tuban.
Ternyata ada sahabat Raden Wijaya yang tidak puas dengan jabatan yang diterimanya sehingga terjadi pemberontakan. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang dilakukan oleh Rangga Lawe (Parangga Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe memberontak karena tidak puas terhadap kebijaksanaan Kertarajasa yang dirasa kurang adil. Kedudukan Patih Majapahit seharusnya diberikan kepadanya. Namun, oleh Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi (anak Wiraraja). Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo Anabrang. Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat kematiannya, kemudian membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan alasan Mahapatih yang mempunyai ambisi politik besar di Majapahit menyusun strategi agar raja bersedia menghukum tindakan Lembu Sora.
Lembu Sora membangkang perintah raja dan mengadakan pemberontakan pada tahun 1298–1300. Lembu Sora gugur bersama sahabatnya, Jurudemung dan Gajah Biru.
Untuk memperkuat kedudukannya sebagai Raja Majapahit, Raden Wijaya menikahi keempat putri Kertanegara, yaitu Tribhuwaneswati, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri. Hal itu dimaksudkan agar tidak lagi terjadi pere­butan kekuasaan oleh anggota keluarga Kertanegara lainnya. Di samping itu, Raden Wijaya juga memperistri Dara Petak, putri dari Melayu yang dibawa oleh prajurit Singasari dari tugasnya di Melayu.
Perkawinan Raden Wijaya dengan Tribhuwaneswati mempunyai anak, yaitu Jayanegara, sedangkan dengan Gayatri memiliki dua orang putri, yaitu Tribhuwanatunggadewi (Bhre Kahuripan) dan Pajadewi Maharaja (Bhre Daha). Keturunan dari Gayatri itulah yang nanti akan melahirkan raja-raja besar di Majapahit.
Susunan pemerintahan Kertarajasa tidak banyak berbeda dengan pemerintahan Singasari. Raja dibantu oleh tiga orang mahamenteri (i hino, i sirikan, dan i halu) dan dua orang pejabat lagi, yaitu rakryan rangga dan rakryan tumenggung. Pada tahun 1309 Kertarajasa wafat dan di-dharma-kan di Simping dengan Arca Syiwa dan di Antahpura (di kota Majapahit) dengan arca perwujudannya berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa).
2)    Sri Jayanegara (1309–1328)
Setelah Kertarajasa mangkat, digantikan putranya yang bernama Kala Gemet dengan gelar Sri Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja muda (kumararaja) sejak ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara adalah raja yang lemah. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terus dirongrong oleh serentetan pemberontakan.
Pada tahun 1316 timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang menjabat Rakryan Patih Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah Lumajang dan Pajarakan. Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya (Wiraraja). Raja Jayanegara atas nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan Pajarakan digempur sampai hancur. Terjadilah pertempuran sengit dan Nambi pun gugur.
Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun 1318. Setahun kemudian (1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti adalah dua orang dari tujuh dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Kerajaan Majapahit. Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Badander di bawah perlindungan pasukan Bayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Setelah raja dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk melaku­kan pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang memihak raja dan Gajah Mada pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti. Dengan strategi yang jitu, Gajah Mada mengadakan serangan secara tiba-tiba ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat dihancurkan dan Kuti tewas dalam pertempuran itu. Setelah keadaan benar-benar aman, Jayanegara pulang ke ibu kota untuk meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang besar, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat menjadi Patih Daha menggantikan Arya Tilan (1321).
Pada tahun 1328 terjadilah musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca (seorang tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu disebut Patanca. Jayanegara di-dharma-kan di Candi Srenggapura di Kapopongan.
3)    Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328–1350)
Raja Jayanegara tidak berputra sehingga ketika baginda mangkat, takhta kerajaan diduduki oleh adik perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri) yang bernama Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani. Selama memerintah, Tribhu­wanatunggadewi didampingi suaminya yang bernama Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singasari) dengan gelar Kertawardhana. Berkat bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada, pemerintahannya dapat berjalan lancar walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki, tetapi dapat dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah Mada naik pangkat lagi dari Patih Daha menjadi Mahapatih Maja­pahit menggantikan Pu Naga. Setelah diang­kat menjadi Mahapatih Majapahit, dalam suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat negara lainnya, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menya­tukan Nusantara di bawah naungan Maja­pahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Palapa berarti garam atau rempah-rempah yang dapat mele­zatkan berbagai ma­sakan. Oleh karena itu, sumpah itu dapat diarti­kan bahwa Gajah Mada tidak akan makan palapa (hidup enak) sebelum berhasil me­nyatukan Nusantara.
Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah Mada sudah bertekad baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang mundur. Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan sumpahnya, seperti prajurit pilihan, persenjataan, dan armada laut yang kuat. Setelah persiapannya matang, tentara Majapahit sedikit demi sedikit bergerak menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan lain.
Pada tahun 1334 Bali berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dan Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat Majapahit keturunan Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan gelar Arya Dewaraja Pu Aditya. Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah di Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian (Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan mengakui kekuasaan Majapahit. Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Agar pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatera kekal, Adityawarman diangkat menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman segera menata kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah kekuasaannya hingga Pagarruyung–Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dari Jambi ke Pagarruyung. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Pada tahun 1372 Tribhuwanatunggadewi meninggal dan di-dharma-kan di Panggih dengan nama Pantarapurwa.
4)    Raja Hayam Wuruk (1350–1389)
Hayam Wuruk setelah naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja) dan mendapat daerah Jiwana sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam memerintah Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai patih hamangkubumi.
Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh patih yang gagah berani pula. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesaran. Wilayah kekuasaannya hampir seluas negara Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu sampai ke Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina Selatan. Dengan kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar terwujud sehingga seluruh pembesar kerajaan selalu hormat kepadanya. Kecuali sebagai seorang negarawan dan jenderal perang, Gajah Mada juga ahli hukum. Ia berhasil menyusun kitab Kutaramanawa yang digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada satu daerah di Pulau Jawa yang belum tunduk kepada Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kerajaan Sunda itu diperintah oleh Sri Baduga Maharaja. Gajah Mada ingin menundukkan secara diplomatis dan kekeluargaan. Kebetulan pada tahun 1357 Raja Hayam Wuruk bermaksud meminang putri Sri Baduga yang bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu diterimanya. Dyah Pitaloka dengan diantarkan oleh Sri Baduga beserta prajuritnya berangkat ke Majapahit. Akan tetapi, ketika sampai di Bubat, Gajah Mada menghentikan rombongan pengantin. Gajah Mada menghendaki agar putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah Mada itu ditentang oleh raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah pertempuran sengit yang tidak seimbang. Sri Baduga beserta para pengikutnya gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri di tempat itu juga. Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang Bubat.
5)    Raja Wikramawardhana (1389–1429)
Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan kekuasaan di antara putra-putri Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus pada tahun 1401. Seorang raja daerah  dari bagian timur, yaitu Bhre Wirabhumi memberontak terhadap Raja Wikramawardhana. Raja Wikramawardhana adalah suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta kerajaan ayahnya (Hayam Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari selir.
Dalam kitab Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang Paregreg. Pasukan Bhre Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh Raden Gajah.
6)    Raja Suhita (1429–1447)
Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita. Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit dimaksudkan untuk meredakan pertikaian keluarga tersebut. Namun, benih balas dendam sudah telanjur tertanam pada keluarga Bhre Wirabhumi. Akibatnya, pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian antarkeluarga Majapahit terus berlangsung.
7)    Raja Majapahit Terakhir
Pada tahun 1447 Suhita meninggal dan digantikan Dyah Kertawijaya. Ia hanya memerintah selama empat tahun (1447–1451) karena pada tahun 1451 meninggal dan di-dharma-kan di Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja tidak ada keterangan yang jelas.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre Pamotan dengan gelar Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang Sinagara. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling, Kahuripan. Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh Kertawijaya (1447).
Sepeninggal Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit selama tiga tahun (1453–1456) tidak mempunyai seorang raja.
Pada tahun 1456 Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dengan gelar Girindrawardhana. Bhre Wengker adalah anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun (1456–1466).

Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Berkembangnya agama Islam di pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti berdirinya Kerajaan Demak mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit. Raja dan pejabat penting Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk Islam. Mereka masih menyimpan dendam nenek moyangnya sehingga Majapahit berusaha dihancurkan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1518–1521. Penyerangan Demak terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati Unus (cucu Bhre Kertabhumi).


b.    Aspek Kehidupan Sosial

Wilayah kekuasaan Majapahit pada saat pemerintahan Hayam Wuruk meliputi seluruh Nusantara, termasuk Singapura dan Semenanjung Melayu. Bahkan, pengaruh Kerajaan Majapahit terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu ke Filipina Selatan dan Thailand (Campa). Wilayah yang luas itu dibagi-bagi dalam delapan daerah atau disebut Daerah Delapan, yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan (Tanjungpura), Semenanjung Melayu, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Majapahit merupakan kerajaan Hindu yang diketahui agak lengkap struktur pemerintahannya. Struktur pemerintahaan Kerajaan Majapahit mencerminkan adanya kekuasaan yang bersifat teritorial dan sentralisasi. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa yang memegang kekuasaan politik sehingga dengan sendirinya menempati struktur pemerintahan tertinggi di kerajaan.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat. Adapun nama jabatan tersebut adalah sebagai berikut.
1)    Rakryan Mahamantri Katrini
Rakryan Mahamantri Katrini dijabat oleh putra-putra raja yang merupakan gabungan jabatan dari pangkat rakryan mahamantri i hino, rakryan mahamantri i halu, dan rakryan mahamantri i sirikan.
2)    Rakryan Mantri Pakira-Kiran
Rakryan Mantri Pakira-Kiran adalah suatu dewan yang terdiri atas lima orang pejabat tinggi kerajaan yang berfungsi sebagai badan pelaksana pemerintahan. Dewan ini terdiri atas patih hamangkubumi (perdana menteri), rakryan tumenggung, rakryan demung, rakryan rangga, dan rakryan kanuruhan. Kelima pejabat itu juga disebut Sang Pancaring Wilwatikta atau Menteri Mancanagara. Selain dewan menteri, masih banyak menteri lainnya, seperti werdhamenteri, yuwamenteri, dan aryadhikara.
3)    Dharmmaddyaksa
Dharmmaddyaksa adalah jabatan bidang keagamaan. Jabatan untuk urusan agama Syiwa disebut dharmmaddhyaksa ring kasaiwan, sedangkan jabatan untuk agama Buddha disebut dharmmaddhyaksa ring kasogatan.
Kedua jabatan itu masih dibantu oleh para pejabat bawahannya yang disebut dharmaupapati atau sang pamegat. Jumlah mereka banyak sekali. Akan tetapi, di dalam prasasti-prasasti peninggalan Majapahit biasanya yang disebut paling banyak tujuh orang. Pada zaman Hayam Wuruk dikenal adanya tujuh upapati yang disebut sang upapati sapta. Ketujuh upapati itu adalah sang pamegat i tirwan, sang pamegat i kandamuhi, sang pamegat i manghuri, sang pamegat i pamwatan, sang pamegat i jambi, sang pamegat i kandangat atuha, dan sang pamegat i kandangan rare.
4)    Urusan Kelautan dan Angkatan Laut
Urusan kelautan dan angkatan laut dipegang oleh Laksamana Nala. Ia telah berjasa besar dalam berbagai ekspansinya ke luar Jawa untuk me­nya­tukan Nusantara.
Di samping jabatan tersebut, raja juga mempunyai suatu lembaga yang berfungsi sebagai dewan pertimbangan kerajaan.  Dewan pertimbangan kerajaan itu disebut Bhatara Sapta Prabu.
Pada waktu tertentu diselenggarakan upacara Srrada di ibu kota kerajaan dengan tujuan menghormati arwah nenek moyang. Upacara Srrada dihadiri oleh semua pejabat termasuk para adipati. Upacara Srrada yang paling besar diselengga­rakan pada tahun 1362, yaitu pada saat memperingati 12 tahun meninggalnya Rajapatni atas perintah ibunda Raja Tribuwanatunggadewi.
Raja Hayam Wuruk sangat memperhatikan pula keadaan daerah-daerah kerajaan. Beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan meninjau daerah kekuasaan Majapahit dengan disertai para pembesar kerajaan. Di antaranya adalah perjalanan ke daerah
1)   Pajang (1351),
2)   Lasem (1354),
3)   Lumajang (1359),
4)   Blitar (1361),
5)   Simping sambil meresmikan sebuah candi (1363), dan
6)   Kediri (1365).

Pada masa Kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan Buddha. Kedua umat beragama itu memiliki toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Namun, mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Rakyat ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa–Buddha. Hal itu ditegaskan lagi dalam kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut dharmma­ddhyaksa. Jabatan itu dibagi dua, yaitu dharmmaddhyaksa ring kasaiwan untuk urusan agama Syiwa dan dharmmaddhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaupatti. Pejabat itu, pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada tujuh orang yang disebut sang upatti sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai kelompok cendekiawan atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca adalah seorang dharmmaddhyaksa dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya Negarakertagama.
Untuk keperluan ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan pembangunan candi-candi.

c.    Aspek Kehidupan Ekonomi

Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat dan pemerintah Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut.
1)    Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor pertanian rakyat yang banyak menghasilkan bahan makanan.
2)    Di luar Jawa, terutama bagian timur (Maluku), dititikberatkan pada tanaman rempah-rempah dan tanaman perdagangan lainnya.
3)    Di sepanjang sungai-sungai besar berkembang kegiatan perdagangan yang menghubungkan daerah pantai dan pedalaman.
4)    Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Ujung Galuh, Canggu, dan Surabaya, dikembangkan perdagangan antarpulau dan dengan luar negeri, seperti Cina, Campa, dan India.
5)    Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah menerima bea cukai, sedangkan dari raja-raja daerah pemerintah menerima pajak dan upeti dalam jumlah yang cukup besar.
Perekonomian yang maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan keluarga raja beserta para pejabat negara lebih makmur lagi.


d.    Aspek Kehidupan Kebudayaan

Pada masa Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni sastra. Karya seni sastra yang dihasilkan pada masa Majapahit, antara lain sebagai berikut.
1)    Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya menceritakan hal-hal sebagai berikut.
a)    Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa pemerintahannya.
b)   Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
c)    Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah kekuasaannya di Jawa Timur beserta daftar candi-candi yang ada.
d)   Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya upacara srrada untuk menghormati roh Gayatri dan menambah kesaktian raja.
2)    Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha.Di  dalamnya menyebutkan “Mangka jinatwan lawan siwa tatwa tunggal Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa” Walau berbeda agama /kepercayaan namun tetap satu jua.
3)    Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang riwayat raja raksasa yang berhasil ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
4)    Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab itu berisi kisah raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan pengembaraan Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu dengan Kurawa.
Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat. Bermacam-macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat dari bata, misalnya Candi Penataran, Candi Tigawangi, Candi Surawana, Candi Jabung, dan Gapura Bajang Ratu.
Majapahit mencapai puncak kejayaan berkat usaha Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Pada tahun 1364 Gajah Mada meninggal. Hal itu menimbulkan kesulitan bagi Raja Hayam Wuruk untuk mencari penggantinya. Oleh karena itu, tugas patih hamangkubumi diserahkan kepada dewan menteri yang terdiri atas Empu Tanding, Empu Nala, dan Patih Dami. Setelah tiga tahun dari kematian Gajah Mada, raja mengangkat Gajah Enggon menjadi patih hamangkubumi.
Pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk mangkat dan di-dharma-kan di Tayung (daerah Berbek, Kediri). Hayam Wuruk mempunyai seorang putri dan seorang putra dari dua orang istri. Dari permaisurinya lahir Kusumawardhani, sedangkan dari selirnya lahir Bhre Wirabhumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar