L Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit
dapat dikatakan sebagai kelanjutan Kerajaan Singasari. Alasannya, Raden Wijaya
sebagai pendiri Kerajaan Majapahit merupakan salah seorang pangeran dari
Kerajaan Singasari yang berhasil meloloskan diri ketika Jayakatwang dari Kediri
menghancurkan Singasari. Raden Wijaya melarikan diri ke Sumenep (Madura)
untuk meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Setelah berada di
Madura, Raden Wijaya mulai menyusun taktik dan strategi untuk merebut kembali
takhta Kerajaan Singasari.
Atas nasihat Arya
Wiraraja, Raden Wijaya menyerah dan berpura-pura bersedia menghambakan diri
kepada Jayakatwang agar dapat mengatur siasat menggulingkannya. Atas jaminan
Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima mengabdi di Kediri oleh Jayakatwang. Raden
Wijaya sangat rajin bekerja dan taat kepada raja sehingga memperoleh kepercayaan
penuh. Setelah memperoleh kepercayaan raja, Raden Wijaya dianjurkan oleh Arya
Wiraraja agar memohon kepada raja untuk dapat menempati daerah ”liar” di utara
Pegunungan Arjuna guna membuka permukiman baru di sana. Permohonan itu pun
dikabulkan oleh Jayakatwang. Daerah ”liar” yang disebut hutan Tarik
segera dibuka dengan bantuan para prajurit dari Madura.
Dalam waktu singkat,
hutan Tarik cepat berkembang. Penduduk dari daerah sekitar hutan Tarik mulai
berdatangan. Raden Wijaya segera menghimpun penduduk, terutama kaum muda.
Mereka dilatih menjadi prajurit yang gagah berani dan persenjataannya pun
dilengkapi. Makin hari makin mantap persiapannya. Hutan Tarik kemudian terkenal
dengan nama Majapahit. Di Madura, Arya Wiraraja pun sudah bersiap-siap
dengan prajuritnya untuk membantu Majapahit menyerang Kediri.
Bertepatan dengan
selesainya persiapan untuk melawan Raja Jayakatwang, tentara Mongol yang
dikirim oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Kertanegara telah tiba di Jawa.
Mereka dipimpin oleh Shihpi, Ka-Hsing, dan Iheh-mi-shih. Tentara Mongol sebagian mendarat di Tuban
dan lainnya mendarat di Sedayu (Sugalu), Gresik. Tentara Mongol setelah
mendarat segera berkuda bergerak cepat menuju Kediri.
Ketika bertemu
perutusan tentara Mongol, Raden Wijaya berpura-pura bersedia mengakui
kekuasaan Kubhilai Khan dan membantu menghukum Raja Jawa di Kediri. Sebagian prajurit Majapahit bergabung dengan tentara Mongol dan
bergerak ke arah Kediri.
Jayakatwang tidak kuasa membendung serbuan tentara
gabungan Mongol–Majapahit yang datang secara mendadak. Akibatnya, hancurlah
pertahanan Kediri. Raja Jayakatwang tertangkap dan dibawa ke benteng
pertahanan tentara Mongol di Ujung Galuh. Di sana Jayakatwang dibunuh oleh
tentara Mongol. Dengan taktik dan strategi yang jitu, Raden Wijaya dan Arya
Wiraraja berbalik menyerbu tentara Mongol dari berbagai jurusan. Tentara Mongol
tidak menyangka adanya serangan balik sehingga tidak dapat bertahan. Akibatnya,
lebih dari 3.000 tentara Mongol dapat dibinasakan, sedangkan sisanya lari
tunggang-langgang menuju ke kapal untuk pulang ke negerinya.
a. Aspek Kehidupan Politik
Kehidupan politik
yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada masa pemerintahan
raja-raja berikut ini.
1) Raden Wijaya (1293–1309)
Raden Wijaya
dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tahun 1293 dengan gelar Kertarajasa.
Para sahabatnya yang ikut berjuang tidak disia-siakan. Mereka diangkat menjadi
pejabat negara. Arya Wiraraja yang paling berjasa diberi kedudukan tinggi dan
berkuasa di daerah Lumajang hingga Blambangan. Nambi diberi kedudukan sebagai rakryan
mahapatih, Sora sebagai patih di Daha, dan Rangga Lawe sebagai amanca
nagara di Tuban.
Ternyata ada sahabat
Raden Wijaya yang tidak puas dengan jabatan yang diterimanya sehingga terjadi
pemberontakan. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang dilakukan
oleh Rangga Lawe (Parangga Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe memberontak
karena tidak puas terhadap kebijaksanaan Kertarajasa yang dirasa kurang adil.
Kedudukan Patih Majapahit seharusnya diberikan kepadanya. Namun, oleh
Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi (anak Wiraraja). Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo
Anabrang. Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat
kematiannya, kemudian membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan alasan Mahapatih
yang mempunyai ambisi politik besar di Majapahit menyusun strategi agar raja
bersedia menghukum tindakan Lembu Sora.
Lembu Sora
membangkang perintah raja dan mengadakan pemberontakan pada tahun 1298–1300.
Lembu Sora gugur bersama sahabatnya, Jurudemung dan Gajah Biru.
Untuk memperkuat
kedudukannya sebagai Raja Majapahit, Raden Wijaya menikahi keempat putri
Kertanegara, yaitu Tribhuwaneswati, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri.
Hal itu dimaksudkan agar tidak lagi terjadi perebutan kekuasaan oleh anggota
keluarga Kertanegara lainnya. Di samping itu, Raden Wijaya juga memperistri Dara
Petak, putri dari Melayu yang dibawa oleh prajurit Singasari dari tugasnya
di Melayu.
Perkawinan Raden
Wijaya dengan Tribhuwaneswati mempunyai anak, yaitu Jayanegara,
sedangkan dengan Gayatri memiliki dua orang putri, yaitu Tribhuwanatunggadewi
(Bhre Kahuripan) dan Pajadewi Maharaja (Bhre Daha). Keturunan dari
Gayatri itulah yang nanti akan melahirkan raja-raja besar di Majapahit.
Susunan pemerintahan
Kertarajasa tidak banyak berbeda dengan pemerintahan Singasari. Raja dibantu
oleh tiga orang mahamenteri (i hino, i sirikan, dan i halu) dan
dua orang pejabat lagi, yaitu rakryan rangga dan rakryan tumenggung.
Pada tahun 1309 Kertarajasa wafat dan di-dharma-kan di Simping dengan
Arca Syiwa dan di Antahpura (di kota Majapahit) dengan arca perwujudannya
berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa).
2) Sri Jayanegara (1309–1328)
Setelah Kertarajasa
mangkat, digantikan putranya yang bernama Kala Gemet dengan gelar Sri
Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja muda (kumararaja)
sejak ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara adalah raja yang
lemah. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terus dirongrong oleh
serentetan pemberontakan.
Pada tahun 1316
timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang menjabat Rakryan
Patih Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah Lumajang dan
Pajarakan. Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya (Wiraraja). Raja
Jayanegara atas nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan Pajarakan
digempur sampai hancur. Terjadilah pertempuran sengit dan Nambi pun gugur.
Keadaan belum pulih,
terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun 1318. Setahun kemudian (1319)
terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti adalah dua orang dari tujuh dharmmaputra.
Pemberontakan inilah yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu
kota Kerajaan Majapahit. Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Badander
di bawah perlindungan pasukan Bayangkari yang dipimpin oleh Gajah
Mada.
Setelah raja dalam
keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk melakukan pendekatan
kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang memihak raja dan Gajah Mada
pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti. Dengan strategi yang jitu,
Gajah Mada mengadakan serangan secara tiba-tiba ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti
dapat dihancurkan dan Kuti tewas dalam pertempuran itu. Setelah keadaan
benar-benar aman, Jayanegara pulang ke ibu kota untuk meneruskan
pemerintahannya. Karena jasanya yang besar, Gajah Mada diangkat menjadi Patih
Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat menjadi Patih Daha
menggantikan Arya Tilan (1321).
Pada tahun 1328
terjadilah musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca
(seorang tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu
disebut Patanca. Jayanegara di-dharma-kan di Candi Srenggapura
di Kapopongan.
3) Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani
(1328–1350)
Raja Jayanegara tidak
berputra sehingga ketika baginda mangkat, takhta kerajaan diduduki oleh adik
perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri) yang bernama Bhre Kahuripan. Ia
dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwarddhani. Selama memerintah, Tribhuwanatunggadewi didampingi
suaminya yang bernama Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi
raja di Singasari (Bhre Singasari) dengan gelar Kertawardhana. Berkat
bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada, pemerintahannya dapat berjalan lancar
walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331
timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki, tetapi
dapat dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah Mada naik
pangkat lagi dari Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Pu
Naga. Setelah diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, dalam suatu
persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat negara lainnya,
Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Palapa berarti garam
atau rempah-rempah yang dapat melezatkan berbagai masakan. Oleh karena itu,
sumpah itu dapat diartikan bahwa Gajah Mada tidak akan makan palapa (hidup
enak) sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Semula banyak pejabat
negara yang menertawakannya, tetapi Gajah Mada sudah bertekad baja, bersemangat
membara, dan maju terus pantang mundur. Gajah Mada mempersiapkan segala
sesuatunya untuk mewujudkan sumpahnya, seperti prajurit pilihan, persenjataan,
dan armada laut yang kuat. Setelah persiapannya matang, tentara Majapahit
sedikit demi sedikit bergerak menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan
lain.
Pada tahun 1334 Bali
berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala
dan Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat Majapahit
keturunan Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan gelar Arya
Dewaraja Pu Aditya. Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah di
Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan
Irian (Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan mengakui kekuasaan Majapahit.
Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Agar
pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatera kekal, Adityawarman diangkat menjadi
raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman segera
menata kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah kekuasaannya hingga
Pagarruyung–Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan
dari Jambi ke Pagarruyung. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Pada tahun 1372
Tribhuwanatunggadewi meninggal dan di-dharma-kan di Panggih dengan nama Pantarapurwa.
4) Raja Hayam Wuruk (1350–1389)
Hayam Wuruk setelah
naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhre
Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanadewi masih memerintah, Hayam Wuruk
telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja) dan mendapat daerah
Jiwana sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam memerintah Majapahit, Hayam Wuruk
didampingi oleh Gajah Mada sebagai patih hamangkubumi.
Hayam Wuruk adalah
raja yang cakap dan didampingi oleh patih yang gagah berani pula. Pada masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesaran.
Wilayah kekuasaannya hampir seluas negara Indonesia sekarang. Bahkan,
pengaruhnya terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu sampai ke Thailand (Campa),
Indocina, dan Filipina Selatan. Dengan kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa
Gajah Mada benar-benar terwujud sehingga seluruh pembesar kerajaan selalu
hormat kepadanya. Kecuali sebagai seorang negarawan dan jenderal perang, Gajah
Mada juga ahli hukum. Ia berhasil menyusun kitab Kutaramanawa yang
digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Pada saat
pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada satu daerah di Pulau Jawa yang belum tunduk
kepada Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kerajaan Sunda itu
diperintah oleh Sri Baduga Maharaja. Gajah Mada ingin menundukkan secara
diplomatis dan kekeluargaan. Kebetulan pada tahun 1357 Raja Hayam Wuruk
bermaksud meminang putri Sri Baduga yang bernama Dyah Pitaloka untuk
dijadikan permaisuri. Lamaran itu diterimanya. Dyah Pitaloka dengan diantarkan
oleh Sri Baduga beserta prajuritnya berangkat ke Majapahit. Akan tetapi, ketika
sampai di Bubat, Gajah Mada menghentikan rombongan pengantin. Gajah Mada
menghendaki agar putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada Hayam Wuruk sebagai
tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah Mada itu
ditentang oleh raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah pertempuran
sengit yang tidak seimbang. Sri Baduga beserta para pengikutnya gugur, Dyah
Pitaloka bunuh diri di tempat itu juga. Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang
Bubat.
5) Raja Wikramawardhana (1389–1429)
Setelah Raja Hayam
Wuruk mangkat, terjadilah perebutan kekuasaan di antara putra-putri Hayam
Wuruk. Kemelut politik pertama meletus pada tahun 1401. Seorang raja
daerah dari bagian timur, yaitu Bhre
Wirabhumi memberontak terhadap Raja Wikramawardhana. Raja
Wikramawardhana adalah suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta
kerajaan ayahnya (Hayam Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk
dari selir.
Dalam kitab
Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang Paregreg.
Pasukan Bhre Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh Raden Gajah.
6) Raja Suhita (1429–1447)
Wikramawardhana wafat
pada tahun 1429 dan digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita.
Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit dimaksudkan untuk meredakan pertikaian
keluarga tersebut. Namun, benih balas dendam sudah telanjur tertanam pada
keluarga Bhre Wirabhumi. Akibatnya, pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena
dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa
pertikaian antarkeluarga Majapahit terus berlangsung.
7) Raja Majapahit Terakhir
Pada tahun 1447
Suhita meninggal dan digantikan Dyah Kertawijaya. Ia hanya memerintah
selama empat tahun (1447–1451) karena pada tahun 1451 meninggal dan di-dharma-kan
di Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja tidak ada keterangan
yang jelas.
Sepeninggal
Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre Pamotan dengan
gelar Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang Sinagara.
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling,
Kahuripan. Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin Pitu yang
dikeluarkan oleh Kertawijaya (1447).
Sepeninggal
Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit selama tiga tahun (1453–1456) tidak
mempunyai seorang raja.
Pada tahun 1456
Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dengan gelar Girindrawardhana.
Bhre Wengker adalah anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 10 tahun (1456–1466).
Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Berkembangnya agama
Islam di pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti berdirinya Kerajaan Demak
mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit. Raja dan pejabat penting Demak adalah
keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk Islam. Mereka masih menyimpan dendam
nenek moyangnya sehingga Majapahit berusaha dihancurkan. Peristiwa itu terjadi
pada tahun 1518–1521. Penyerangan Demak terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati
Unus (cucu Bhre Kertabhumi).
b. Aspek Kehidupan Sosial
Wilayah kekuasaan
Majapahit pada saat pemerintahan Hayam Wuruk meliputi seluruh Nusantara,
termasuk Singapura dan Semenanjung Melayu. Bahkan, pengaruh Kerajaan Majapahit
terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu ke Filipina Selatan dan Thailand
(Campa). Wilayah yang luas itu dibagi-bagi dalam delapan daerah atau disebut Daerah
Delapan, yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan (Tanjungpura), Semenanjung
Melayu, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Majapahit merupakan
kerajaan Hindu yang diketahui agak lengkap struktur pemerintahannya. Struktur
pemerintahaan Kerajaan Majapahit mencerminkan adanya kekuasaan yang bersifat
teritorial dan sentralisasi. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa yang
memegang kekuasaan politik sehingga dengan sendirinya menempati struktur
pemerintahan tertinggi di kerajaan.
Dalam menjalankan
pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat. Adapun nama jabatan tersebut
adalah sebagai berikut.
1) Rakryan Mahamantri Katrini
Rakryan Mahamantri
Katrini dijabat oleh
putra-putra raja yang merupakan gabungan jabatan dari pangkat rakryan
mahamantri i hino, rakryan mahamantri i halu, dan rakryan mahamantri i
sirikan.
2) Rakryan Mantri Pakira-Kiran
Rakryan Mantri
Pakira-Kiran adalah suatu
dewan yang terdiri atas lima orang pejabat tinggi kerajaan yang berfungsi
sebagai badan pelaksana pemerintahan. Dewan ini terdiri atas patih
hamangkubumi (perdana menteri), rakryan tumenggung, rakryan demung,
rakryan rangga, dan rakryan kanuruhan. Kelima pejabat itu juga disebut Sang Pancaring
Wilwatikta atau Menteri Mancanagara. Selain dewan menteri, masih banyak
menteri lainnya, seperti werdhamenteri, yuwamenteri, dan aryadhikara.
3) Dharmmaddyaksa
Dharmmaddyaksa adalah jabatan bidang keagamaan. Jabatan
untuk urusan agama Syiwa disebut dharmmaddhyaksa ring kasaiwan,
sedangkan jabatan untuk agama Buddha disebut dharmmaddhyaksa ring kasogatan.
Kedua jabatan itu
masih dibantu oleh para pejabat bawahannya yang disebut dharmaupapati
atau sang pamegat. Jumlah mereka banyak sekali. Akan tetapi, di dalam
prasasti-prasasti peninggalan Majapahit biasanya yang disebut paling banyak
tujuh orang. Pada zaman Hayam Wuruk dikenal adanya tujuh upapati yang disebut sang
upapati sapta. Ketujuh upapati itu adalah sang pamegat i tirwan, sang
pamegat i kandamuhi, sang pamegat i manghuri, sang pamegat i pamwatan, sang
pamegat i jambi, sang pamegat i kandangat atuha, dan sang pamegat i
kandangan rare.
4) Urusan Kelautan dan Angkatan Laut
Urusan kelautan dan
angkatan laut dipegang oleh Laksamana Nala. Ia telah berjasa besar dalam
berbagai ekspansinya ke luar Jawa untuk menyatukan Nusantara.
Di samping jabatan
tersebut, raja juga mempunyai suatu lembaga yang berfungsi sebagai dewan
pertimbangan kerajaan. Dewan pertimbangan
kerajaan itu disebut Bhatara Sapta Prabu.
Pada waktu tertentu
diselenggarakan upacara Srrada di ibu kota kerajaan dengan tujuan
menghormati arwah nenek moyang. Upacara Srrada dihadiri oleh semua pejabat
termasuk para adipati. Upacara Srrada yang paling besar diselenggarakan pada
tahun 1362, yaitu pada saat memperingati 12 tahun meninggalnya Rajapatni atas
perintah ibunda Raja Tribuwanatunggadewi.
Raja Hayam Wuruk
sangat memperhatikan pula keadaan daerah-daerah kerajaan. Beberapa kali ia
mengadakan perjalanan kenegaraan meninjau daerah kekuasaan Majapahit dengan
disertai para pembesar kerajaan. Di antaranya adalah perjalanan ke daerah
1) Pajang (1351),
2) Lasem (1354),
3) Lumajang (1359),
4) Blitar (1361),
5) Simping sambil meresmikan sebuah candi (1363), dan
6) Kediri (1365).
Pada masa Kerajaan
Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan Buddha. Kedua umat beragama itu
memiliki toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang
baik. Raja Hayam Wuruk beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha.
Namun, mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Rakyat ikut
meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu
merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa–Buddha. Hal itu ditegaskan lagi
dalam kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana
Dharmma Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu
kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Urusan keagamaan
diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut dharmmaddhyaksa. Jabatan
itu dibagi dua, yaitu dharmmaddhyaksa ring kasaiwan untuk urusan agama
Syiwa dan dharmmaddhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha.
Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaupatti.
Pejabat itu, pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada tujuh orang yang disebut sang
upatti sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga
dikenal sebagai kelompok cendekiawan atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca
adalah seorang dharmmaddhyaksa dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya
Negarakertagama.
Untuk keperluan
ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan pembangunan candi-candi.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi yang
dijalankan oleh rakyat dan pemerintah Kerajaan Majapahit adalah sebagai
berikut.
1) Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor
pertanian rakyat yang banyak menghasilkan bahan makanan.
2) Di luar Jawa, terutama bagian timur
(Maluku), dititikberatkan pada tanaman rempah-rempah dan tanaman perdagangan
lainnya.
3) Di sepanjang sungai-sungai besar berkembang
kegiatan perdagangan yang menghubungkan daerah pantai dan pedalaman.
4) Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban,
Gresik, Sedayu, Ujung Galuh, Canggu, dan Surabaya, dikembangkan perdagangan
antarpulau dan dengan luar negeri, seperti Cina, Campa, dan India.
5) Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah
menerima bea cukai, sedangkan dari raja-raja daerah pemerintah menerima pajak
dan upeti dalam jumlah yang cukup besar.
Perekonomian yang
maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan keluarga raja beserta para pejabat
negara lebih makmur lagi.
d. Aspek Kehidupan Kebudayaan
Pada masa Majapahit
bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni sastra. Karya seni sastra
yang dihasilkan pada masa Majapahit, antara lain sebagai berikut.
1) Kitab Negarakertagama karangan Empu
Prapanca pada tahun 1365. Isinya menceritakan hal-hal sebagai berikut.
a) Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa
pemerintahannya.
b) Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
c) Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah
kekuasaannya di Jawa Timur beserta daftar candi-candi yang ada.
d) Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya
upacara srrada untuk menghormati
roh Gayatri dan menambah kesaktian raja.
2) Kitab Sutasoma karangan Empu
Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat Sutasoma, seorang anak raja yang
menjadi pendeta Buddha.Di dalamnya
menyebutkan “Mangka jinatwan lawan siwa tatwa tunggal Bhinneka Tunggal Ika
Tan Hanna Dharma Mangrwa” Walau berbeda agama /kepercayaan namun tetap satu
jua.
3) Kitab Arjunawijaya karangan Empu
Tantular. Kitab tersebut berisi tentang riwayat raja raksasa yang berhasil
ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
4) Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna,
tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab itu berisi kisah raksasa Kunjarakarna
yang ingin menjadi manusia, dan pengembaraan Pandawa di hutan karena kalah
bermain dadu dengan Kurawa.
Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat. Bermacam-macam
candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat dari bata, misalnya
Candi Penataran, Candi Tigawangi, Candi Surawana, Candi Jabung, dan Gapura
Bajang Ratu.
Majapahit mencapai
puncak kejayaan berkat usaha Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Pada tahun
1364 Gajah Mada meninggal. Hal itu menimbulkan kesulitan bagi Raja Hayam Wuruk
untuk mencari penggantinya. Oleh karena itu, tugas patih hamangkubumi
diserahkan kepada dewan menteri yang terdiri atas Empu Tanding, Empu Nala, dan
Patih Dami. Setelah tiga tahun dari kematian Gajah Mada, raja mengangkat
Gajah Enggon menjadi patih hamangkubumi.
Pada tahun 1389 Raja
Hayam Wuruk mangkat dan di-dharma-kan di Tayung (daerah Berbek,
Kediri). Hayam Wuruk mempunyai seorang putri dan seorang putra dari dua orang
istri. Dari permaisurinya lahir Kusumawardhani, sedangkan dari selirnya
lahir Bhre Wirabhumi.